PELAYANAN KEBIDANAN KOMUNITAS PADA KELUARGA DENGAN PERIORITAS PADA BENCANA ALAM DAN KONFLIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional,
dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai
saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin,
hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi
masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah
satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke
pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan
masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per
1000 kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran
hidup (SDKI 2002-2003).
Masayarakat adat masih disebut sebagai masyarakat terasing yang
membawa masalah sosial. Namun titik pandang melihat masalah sosialnya yang
berbeda. Mereka dianggap sebagai lapisan masyarakat paling bawah dalam strata
perkembangan masyarakat Ind. yang mempunyai masalah sosial dengan
berbagai ketertinggalan dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan dasar hidup
layaknya manusia. Dengan keadaan ketertinggalan itu mereka sulit untuk mencapai
standart hidup manusia normal. Masalah sosial masyarakat terasing ini, juga
dilihat dalam koridor pemerataan hasil-hasil pembangunan dan azas keadilan
untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan
terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut
diantaranya diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi
kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana
(out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan
berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk
melakukan akses ke palayanan kesehatan.
Selama ini dari aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur
dalam tataran Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya, tetapi sejak
Amandemen UUD 1945 perubahan ke dua dalam Pasal 28H Undang–Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Amandemen UUD 1945
perubahan ke tiga Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan
fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta kesehatan adalah
merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi
dari Pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian keluarga Bencana alam,(KLB)
2. Penaganannya
3. Pengertian
Beban Ganda
4. Asuhan
kebidanan komunitas pada keluarga di daerah konflik
C. Tujuan
Untuk mengetahui
Pengertian keluarga Bencana alam,(KLB)
6. Untuk mengetahui Penaganannya
7. Untuk mengetahui pengertian dari beban ganda
8. Untuk mengetahui Asuhan kebidanan komunitas pada
keluarga di daerah konflik.
D. Manfaat
Dengan adanya makalah ini maka dapat memberikan manfaat serta pengetahuan
yang berguna bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa DIV Bidan Pendidik dalam
memahami tentang masalah-masalah yang ada di sekitar daerah dalam pembelajaran
kebidanan komunitas.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Keluarga
bencana Alam (KLB)
Bencana alam adalah suatu peristiwa
alam yang mengakibatkan dampak besar bagi
populasi manusia. Peristiwa
alam dapat berupa banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas, hurikan, badai tropis, taifun, tornado, kebakaran liar dan wabah penyakit.
Beberapa bencana alam terjadi tidak secara alami. Contohnya adalah kelaparan, yaitu
kekurangan bahan pangan dalam jumlah
besar yang disebabkan oleh kombinasi faktor manusia dan alam. Dua jenis bencana
alam yang diakibatkan dari luar
angkasa jarang mempengaruhi manusia, seperti asteroid dan badai matahari.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah
salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Status
Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Kriteria tentang
Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman
Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu, suatu
kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur :
1) Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada atau tidak dikenal
2) Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus
selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari,
minggu)
3) Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat
atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan,
tahun).
4) Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan
kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata
perbulan dalam tahun sebelumnya.
F. Penanganan keluarga Bencana Alam KLB (kejadian luar
biasa)
Dalam pidatonya presiden pada tahun 2003 mengungkapkan pada bidang
kesehatan terutama pada daerah bencana alam Melanjutkan program darurat
pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin, rawan gizi, khususnya untuk
bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas dengan melibatkan partisipasi masyarakat
serta meningkatkan perlindungan hak dan kesehatan reproduksi kaum perempuan,
khususnya dalam rangka menurunkan angka kematian ibu.
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan,
bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Sebuah Desa dikatakan
menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-kurangnya
sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) (Depkes, 2007).
1) Pos Kesehatan Desa
Poskesdes adalah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar
bagi masyarakat desa. UKBM yang sudah dikenal luas oleh masyarakat yaitu Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu), Warung Obat Desa, Pondok Persalinan Desa
(Polindes), Kelompok Pemakai Air, Arisan Jamban Keluarga dan lain-lain (Depkes,
2007).
Untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa,
Poskesdes memiliki kegiatan:
a. Pengamatan epidemiologi sederhana terhadap penyakit
terutama penyakit menular yang berpotensi menimbulkan
b. Kejadian Luar Biasa (KLB) dan faktor resikonya
termasuk status gizi serta kesehatan ibu hamil yang beresiko.
c. Penanggulangan penyakit, terutama penyakit menular dan
penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB serta faktor resikonya termasuk kurang
gizi.
d. Kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan
kegawatdarutan kesehatan.
e. Pelayanan medis dasar sesuai dengan kompetensinya.
f. Promosi kesehatan untuk peningkatan keluarga sadar
gizi, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), penyehatan lingkungan
dan lain-lain.
Dengan
demikian Poskesdes diharapkan sebagai pusat pengembangan atau revitalisasi
berbagai UKBM yang ada di masyarakat desa. Dalam melaksanakan kegiatan
tersebut, Poskesdes harus didukung oleh sumber daya seperti tenaga kesehatan
(minimal seorang bidan) dengan dibantu oleh sekurang-kurangnya 2 orang kader.
Selain itu juga harus disediakan sarana fisik berupa bangunan, perlengkapan dan
peralatan kesehatan serta sarana komunikasi seperti telepon, ponsel atau kurir.
Untuk
sarana fisik Poskesdes dapat dilaksanakan melalui berbagai cara/alternatif
yaitu mengembangkan Polindes yang telah ada menjadi Poskesdes, memanfaatkan
bangunan yang sudah ada misalnya Balai Warga/RW, Balai Desa dan lain-lain serta
membangun baru yaitu dengan pendanaan dari Pemerintah (Pusat atau Daerah),
donatur, dunia usaha, atau swadaya masyarakat.
a. Kriteria Desa Siaga
Kriteria
desa siaga meliputi :
a) Adanya forum masyarakat desa
b) Adanya pelayanan kesehatan dasar
c) Adanya UKBM Mandiri yang dibutuhkan masyarakat desa
setempat
d) Dibina Puskesmas Poned
e) Memiliki system surveilans (faktor resiko dan
penyakit) berbasis masyarakat.
f) Memiliki system kewaspadaan dan kegawatdaruratan
bencana berbasis masyarakat.
g) Memiliki system pembiayaan kesehatan berbasis
masyarakat.
h) Memiliki lingkungan yang sehat
i)
Masyarakatnya ber perilaku hidup bersih
dan sehat.
Tahapan desa siaga :
a) Bina yaitu desa yang baru memiliki forum masyarakat
desa, pelayanan kesehatan dasar, serta ada UKBM Mandiri.
b) Tumbuh yaitu desa yang sudah lebih lengkap dengan
criteria pada tahapan bina ditambah dengan dibina oeh puskesmas Poned, serta
telah memiliki system surveilans yang berbasis masyarakat.
c) Kembang yaitu desa dengan criteria tumbuh dan memiliki
system kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana serta system pembiayaan
kesehatan berbasis masyarakat yang telah berjalan.
d) Paripurna yaitu desa yang telah memiliki seluruh
kriteria desa siaga.
G. Pengertian Beban Ganda
Double
garden atau yang biasanya disebut beban ganda, merujuk kepadakenyataan bahwa
perempuan cenderung bekerja lebih lama dan lebih sedikitharinya dibandingkan
laki-laki sebagaimana biasanya mereka terlibat dalamtiga peran gender yang
berbeda-reproduksi, produksi dan dan peran dimasyarakat.
Beban ganda
perempuan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang tidak hanya
terjadi di lapisasn sosial kelas atas dan menengah saja. Beban ganda juga
terjadi pada lapisan sosial kelas bawah, seperti dalam sebuah komunitas
marginal. Komunitas marginal merupakan sebuah bagian masyarakat yang memiliki
lokalitas di wilayah tertentu, memiliki batas-batas tertentu, memiliki
interaksi sosial yang lebih besar diantara para anggotanya bila dibandingkan
dengan anggota di luar kelompoknya, dan memiliki ciri yang sama.
Peran reproduksi
perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen.Walaupun sudah ada
peningkatan jumlah perempuan yang bekerjadiwilayah public, namun tidak diiringi
dengan berkurangnya beban mereka diwilayah domestic. Upaya maksimal yang
dilakukan mereka adalahmensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan
lain, sepertipembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya.
Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak
perempuan.Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Perempuan
yang melakukan pekerjaan di luar rumah seperti bertani,berdagang, membuat
emping atau kesed juga tetap harus melakukan kerja-kerja reproduksi. Sehingga
dalam sehari semalam, sebagian besar waktuperempuan dicurahkan untuk
keluarganya. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan
hampir90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga.Karena itu, bagi
perempuanyang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik, mereka
jugamasih harus mengerjakan pekerjaan domestic.
Berbagai
bentuk diskriminasi merupakan hambatan untuk tercapainyakeadilan dan kesetaraan
gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antaraperempuan dan laki-laki,
karena dapat menimbulkan :
a. Konflik
b. Stres pada salah satu pihak
c. Relasi gender yang kurang harmonis
Perempuan
harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan makanan,membersihkan rumah dan dapur,
mengasuh anak kemudian melakukan pekerjaannya sampai tengah hari untuk
istirahat sejenak.repotnya, keti kaistirahatpun perempuan masih dibebani dengan
pekerjaan di rumah; menyiapkan makan siang, mengasuh anak. Setelah itu baru
melanjutkan pekerjaannya sampai sore.Untuk kembali melakukan pekerjaan
reproduktif sampai malam. Di sela-sela waktu ini, beberapa perempuan masih
menyibukkan diri untuk mengerjakan pekerjaannya seperti membuat kesed,mengupas
kulit mlinjo, dan lainnya.
Bandingkan
dengan laki-laki yang bangun paginya sedikit lebih siangitupun hanya untuk
menikmati minuman pagi dan sarapan, baru kemudian berangkat kerja sampai tengah
hari. Lalu istirahat dan makan siang,melanjutkan pekerjaannya sampai sore,
istirahat, makan dan bersantai sampaimelam hari. Di malam hari, paling mereka
melakukan aktivitas social seperti ngendong ke tetangga, kumpulan RT, tahlilan
dan lain-lain yangbiasanya hanya beberapa hari sekali.Dari contoh di atas,
sangat terlihat adanya beban ganda perempuan, disatu sisi mereka harus
mengerjakan pekerjaan reproduktif, di sisi lain, baik karena aktualisasi
diri atau tuntutan ekonomi mereka melakukan kerja-kerjaproduktif. Tanpa adanya
pembagian kerja-kerja reproduktif secara lebih seimbang.
Beban ganda
yang dialami oleh perempuan sampai saat ini masih dianggap sebagai kewajaran
dalam masyarakat kita.Padahal beban ganda yang dialami oleh perempuan adalah
salah satu bentuk kekerasan domestik sebagai dampak dari pembagian peran
yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Pada saat
ini wanita telah mengalami kemajuan dalam berbagai hal.Fenomena wanita bekerja
bukan merupakan hal yang aneh lagi bagi masyarakat kita.Wanita jaman sekarang
bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum pria.Dalam dunia
politik pun tidak luput dari campur tangan wanita, bangsa Indonesia pun pernah
di pimpin oleh pemimpin wanita.Hal ini dapat membuktikan bahwa wanita diberai
kesempatan yang besar untuk menjalankan kiprahnya didunia kerja.
Perlu
dipahami bahwa fenomena wanita berperan ganda sebagai ibu tumah tangga
sekaligus bekerja diluar rumah, dan juga sebagai pemimpin wanita
sebenarnya sudah ada sejak dulu. Pada awal abad 19, di luar negeri wanita
yang sebelumnya berfungsi sebagai pekeraja terampil pada usaha-usaha rumah
tangga yang memproduksi sampai memasarkan mulai beralih.
Dampak dari
revolusi industri membuat wanita banyak berpaling untuk melakukan pekerjaan di
luar rumah untuk menghidupi dan menambah penghasilan keluarga.
Menurut
data statistik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tahun
2003 – 2005. Pada tahun 2003 angkatan kerja wanita mencapai 35,479,000 atau
35.36% dari angkatan kerja keseluruhan, 25.55% dari 35 juta tersebut merupakan
pekerja di sektor publik. Tahun 2004 angkatan kerja wanita naik menjadi
38,046,000 atau 34.66 % dari angkatan kerja keseluruhan, 27.58 % bekerja di
sektor publik. Tahun 2005 juga mencatat kenaikan angkatan kerja wanita yang mencapai
39,580,488 atau 37.40 % dari angkatan kerja keseluruhan, 26.98% dari angka
tersebut merupakan pekerja sektor public.
Bekerja
bagi setiap wanita adalah sebuah pilihan.Gerson (1985, dalam Nainggolan, dkk,
1996:78) menyatakan bahwa keputusan wanita untuk bekerja dipengaruhi oleh
faktor yang sifatnya komulatif, interaktif dan terus berkembang dipengaruhi
baik secara langsung atau tidak dari masyarakat, keluarga dan diri sendiri
sehubungan dengan harapan-harapan tertentu terhadap peran wanita yang sekaligus
ibu.
Keputusan
untuk mengambil dua peran berbeda yaitu di rumah tangga dan di tempat kerja
tentu diikuti dengan tuntutan dari dalam diri sendiri dan masyarakat. Tuntutan
dari diri sendiri dan sosial ini menyerukan hal yang sama yaitu keberhasilan
dalam dua peranan tersebut. Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua
peran dengan baik dan sempurna, namun ini bukanlah hal mudah.
Banyak
wanita berperan ganda mengakui bahwa secara operasional sulit untuk membagi
waktu bagi urusan rumah tangga dan urusan kantor (Izzaty, 1999). Dalam Hurlock
(1992) bahwa wanita tidak menyukai kalau harus melaksanakan beban tugas ganda,
satu tugas dalam dunia perkantoran dan satu lagi tugas rumah tangga.Wanita
merasa bersalah karena menolak tugas rumah tangga, contohnya dari sekian banyak
tugas rumah tangga hanya tugas merawat anak yang dapat dilakukan atau bahkan
tugas ini dilakukan oleh baby sitter.Akibatnya bagi wanita pekerja, maka
kehidupan rumah tangga mereka merasa tidak memuaskan.
1. Contoh Kasus
Ini merupakan contoh kasus
konflik pada wanita yang berperan ganda:
Deni dan
Susan, adalah salah satu pasangan yang menjalani pernikahan dengan beda
pendapatan tersebut. Saat Deni kena PHK dari pekerjaannya dengan jabatan
sebagai manajer sebuah bank, ia pun harus mencari pekerjaan lain. Pekerjaan
barunya kini ternyata gajinya lebih kecil dari sang istri, Susan yang bekerja
sebagai kepala HRD sebuah perusahaan. Kini setelah menjadi orang yang
pendapatannya lebih tinggi dari sang suami, Susan merasa lebih percaya diri.
“Aku jadi tidak bergantung lagi secara finansial pada suami,” katanya.Hanya
saja jika memang boleh memilih, Susan yang ibu satu anak itu lebih suka menjadi
ibu rumah tangga atau bekerja part time saja.”Jadi aku bisa lebih banyak
menghabiskan waktu dengan putraku,” katanya.Wanita seperti Susan, meski bergaji
lebih besar dari suaminya, harus berjuang untuk menyeimbangkan tugasnya sebagai
orangtua sekaligus dengan pekerjaannya.
Satu dampak
dari keterlibatan wanita dalam angkatan kerja adalah terjadinya konflik antara
kebutuhan untuk pengembangan diri dalam karir dengan nilai-nilai tradisional
yang melekat pada wanita. Hubungan antara pekerjaan dan
keluarga adalah dua arah (bidirectional), yaitu ranah pekerjaan dapat
mencampuri ranah keluarga (work to family conflict), dan ranah keluarga
dapat mencampuri ranah pekerjaan (family to work conflict) (Adams dkk,
1996).
Konflik
seringkali terjadi karena tugas rumah tangga sering datang seiring dengan
tugasnya sebagai karyawan dan keduanya memerlukan perhatian yang sama besar,
waktu dan energi dibutuhkan untuk mencapai pemenuhan peran yang optimal.
Konflik antara ranah pekerjaan dan keluarga hadir pada saat individu harus
menampilkan multi peran: pekerja, pasangan, dan orang tua (Senecal dkk., 2001).
Bimbaum melaporkan bahwa satu dari enam wanita professional di Amerika
mengalami konflik dalam mengkombinasikan karir dan rumah tangga (Arinta &
Azwar, 1993).
Pekerjaan
dan keluarga dapat menjadi stressful, stress dalam menghadapi peran
gandanya tersebut.Apalagi jika pekerjaan dan keluarganya memberi tekanan dalam
waktu yang bersamaan.Sebagai ibu yang memiliki anak, maka kewajibanya untuk
mengawasi tumbuh kembang si anak tersebu. Pada sisi lain dia juga harus
memikirkan tanggung jawab yang lain, yaitu tanggung jawab sebagai seorang
pemimpin pada suatu perusahaan yang juga memerlukan perhatian lebih agar
perusahaan yang dipimpin tetap berada pada jalurnya.
Konflik
yang terjadi pada peran di pekerjaan dan peran di keluarga menimbulkan
efek-efek negatif. Konflik pekerjaan – keluarga (work – family conflict)
oleh para ahli selalu dikaitkan dengan sumber stress yang mempengaruhi segi
fisik dan psikologis (Adams dkk.,1996). Frone, Russel, & Barnes (Major dkk,
2002) menyatakan bahwa konflik antara pekerjaan ke keluarga (work to family
conflict) mempunyai hubungan dengan depresi dan keluhan somatic.
Konflik yang berkepanjangan.Tidak saja dapat menurunkan kinerja, Tetapi
bisamenimbulkan stres.Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan
menimbulkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, sebagai bentuk reaksi terhadap
tekanan yang intensitasnya sudah terlalu tinggi.
Dampak yang
ditimbulkan oleh konflik salah satunya adalah stress.Stress bukan
hanya bersifat personal, stress juga dapat terjadi di lingkungan kerja.
Menurut Selye (dalam Beehr, et al., 1992), pengertian dari stress kerja
adalah respon seorang individu terhadap stresor di tempat kerja.Stres
sebagai reaksi organisme, yang dapat berupa reaksi fisiologis, psikologis, atau
perilaku. Berdasarkan definisi di atas, stress kerja dapat diartikan
respon individu terhadap sumber atau stresor, dimana stresor yang
dimaksud adalah segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai
suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stress kerja yang dapat memunculkan
reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Menurut
Stephen Palmer & Cary Cooper (2007), mengemukakan bahwa respon terhadap stres
dapat ditampilkan dalam 3 bentuk, yaitu bentuk fisik, perilaku dan
psikologis.Gejala yang ditimsbulkan dalam bentuk fisik, antara lain, mulut
kering, tangan lembab, sesak nafas, migrain, diare, asma bahkan sampai pingsan.
Gejala yang ditampilkan dalam bentuk perilaku, antara lain perilaku agresif,
meningkatkan konsumsi alkohol, menunda-nunda pekerjaan, perilaku pasif,
perubahan pola tidur, menurunnya performa kerja, meningkatkan absensi,
meningkatkan konsumsi kafein, manajemen waktu yang jelek. Sedangkan gejala
psikologis ditampilkan antara lain dalam bentuk marah, gelisah, ketakutan, cemas,
rasa malu, turunnya harga diri, keinginan bunuh diri, pikiran paranoid, mimpi
buruk, depresi, kecemburuan, tidak dapat berkonsentrasi, sering melamun.
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh stress tersebut dapat mempengaruhi
kinerja karyawan saat bekerja, dan terganggunya kinerja karyawan tersebut bisa
memberikan kerugian bagi perusahaan
Konflik-konflik
yang dihadapi oleh wanita yang berperan ganda memerlukan pemecahan sebagai
upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan
yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping.
Coping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang
penuh tekanan.Coping merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi
memecahkan, mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hapsari,
dkk, 2002).
Akan tetapi
individu akan memberikan reaksi yang berbeda-beda dalam mengatasi stress,
tergantung pada pengalaman dan persepsi individu tentang stress. Umumnya, coping
terjadi secara otomatis, begitu individu merasakan adanya situasi yang
menekan atau mengancam, maka individu dituntut untuk sesegera mungkin mengatasi
ketegangan yang dialaminya. Tetapi dari pengalamannya ini, individu akan
melakukan evaluasi untuk seterusnya memutuskan strategi coping apa yang
seharusnya ditampilkan (Rustiana, 2003).
Menurut
Lazarus dan Folkman menyatakan bahwa strategi coping yang merupakan
respon individu terhadap tekanan yang dihadapi secara garis besar dibedakan
atas dua fungsi utama yaitu: ProblemFocused Coping (PFC) dan Emotional
Focused Coping (EFC). PFC atau yang biasa disebut strategi menghadapi
masalah yang berorientasi pada masalah merupakan usaha yang dilakukan oleh
individu dengan cara menghadapi secara langsung sumber penyebab konflik. EFC
atau yang biasa disebut strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada
emosi merupakan perilaku yang diarahkan pada usaha untuk menghadapi
tekanan-tekanan emosi atau stress yang ditimbulkan oleh masalah yang dihadapi.
(Folkman, S. Lazarus R.S. 1988)
H. Asuhan kebidanan komunitas pada masyarakat daerah
konflik
Pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, belum diberikan secara
optimal dan merata, terutama yang berkaitan dengan perlindungan hak dan kesehatan
reproduksi perempuan, penanganan krisis gizi, dan berjangkitnya penyakit
menular, terutama di daerah pengungsian, daerah konflik, dan daerah yang
mengalami bencana alam. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam menanggulangi
daerah konflik,(Rekomendasi Presiden RI tahun 2003). Dalam rangka menanggulangi masalah kesehatan di daerah
konflik dan pengungsian, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan
bersama-sama dengan Pemerintah Daerah setempat, telah melaksanakan berbagai
upaya penanganan melalui serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan, baik yang
bersifat tanggap darurat/emergency maupun pemulihan/ rehabilitatif pasca
konflik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Upaya pelayanan kesehatan
tersebut dilaksanakan secara bersama oleh tenaga kesehatan gabungan baik dari
pusat maupun dari daerah setempat seperti dari puskesmas dan jaringannya, rumah
sakit, serta jajaran tenaga kesehatan setempat lainnya. Jenis pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan, termasuk pelayanan kesehatan jiwa dan psikososial, upaya
perbaikan gizi, dan penyediaan air bersih dan sanitasi.
Khusus mengenai penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan
psikososial terhadap pengungsi akibat konflik antara lain telah dilaksanakan di
Poso, Sulawesi Tengah, di Kupang Nusa Tenggara Timur (pengungsi Eks-Timor
Timur), dan Provinsi NAD. Kegiatan utama penanggulangan masalah
kesehatan jiwa dan psikososial diantaranya adalah pemberian pelayanan kesehatan
melalui konseling di lapangan yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan terlatih.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembangunan
kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan
tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan
masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan
bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga
kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin.
Dan
dari makalah diatas kita dapat mengambil manfaat,tentang bagaimana asuhan
kebidanan komunitas keluarga miskin,terasing,keluaga bencana alam(KLB) dan
daerah konflik,dimana peran bidan dalam masyarakat dalam kondisi tersebut
sangat dibutuhkan.
B. SARAN
Bagi mahasiswa DIV bidan pendidik,agar lebih kiranya untuk dapat
memahami materi di
atas dan dapat dijalankan dilapangan kelak, serta dapat pula diajarkan pada
mahasiswa yang diajarkan nantinya. Pada pihak pemerintah,dapat terus
memperbaiki kebijakannya dalam bidang kesehatan terutama dalam bidang kesehatan