PELAYANAN KEBIDANAN KOMUNITAS PADA KELUARGA DENGAN PERIORITAS PADA KELUARGA MISKIN, DAN TERASING
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).
Masayarakat adat
masih disebut sebagai masyarakat terasing yang membawa masalah sosial.
Namun titik pandang melihat masalah sosialnya yang berbeda. Mereka dianggap
sebagai lapisan masyarakat paling bawah dalam strata perkembangan masyarakat
Ind. yang mempunyai masalah sosial dengan berbagai ketertinggalan
dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan dasar hidup layaknya manusia. Dengan keadaan
ketertinggalan itu mereka sulit untuk mencapai standart hidup manusia normal.
Masalah sosial masyarakat terasing ini, juga dilihat dalam koridor pemerataan
hasil-hasil pembangunan dan azas keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan
bersama.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan
didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan
kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola
penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan
berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan
pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit
masyarakat untuk melakukan akses ke palayanan kesehatan.
Selama ini dari aspek pengaturan masalah
kesehatan baru di atur dalam tataran Undang-Undang dan peraturan yang ada
dibawahnya, tetapi sejak Amandemen UUD 1945 perubahan ke dua dalam Pasal 28H
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Dalam Amandemen UUD 1945 perubahan ke tiga Pasal 34 ayat
(3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap
warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban
pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta
kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka
dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.
1.2
Rumusan Masalah
- Apa pengertian keluarga miskin dan masyarakat terasing ?
- Bagaimana kriteria keluarga miskin dan masyarakat terasing ?
- Bagaimana usaha pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada keluarga miskin ?
- Bagaimana pemberdayaan masyarakat terasing ?
- Pengertian keluarga Bencana alam,(KLB)
- Penaganannya
- Asuhan kebidanan komunitas pada keluarga di daerah konflik
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian keluarga miskin dan masyarakat terasing.
2.
Untuk mengetahui kriteria keluarga miskin dan masyarakat terasing.
3.
Untuk mengetahui usaha pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan
pada keluarga miskin.
4.
Untuk mengetahui pemberdayaan masyarakat terasing.
5. Untuk
mengetahui Pengertian keluarga Bencana alam,(KLB)
6.
Untuk mengetahui Penaganannya
7.
Untuk mengetahui Asuhan kebidanan komunitas pada keluarga di daerah
konflik
1.4
Manfaat
Dengan
adanya makalah ini maka dapat memberikan manfaat serta pengetahuan yang berguna
bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa DIV Bidan Pendidik dalam memahami tentang
teknologi bayi tabung sebagai bekal untuk menjadi seorang bidan di masyarakat
dalam era globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Keluarga Miskin dan Terasing
Keluarga miskin adalah seseorang atau
kepala keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat
memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
Masyarakat terasing adalah kelompok
orang/masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang bersifat lokal
dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumberdaya alam dan habitatnya yang secara
sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia
pada umumnya sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan
lingkungan dalam arti luas.
2.2
Kriteria Keluarga Miskin dan Terasing
a.
Keluarga miskin
Seorang
kepala keluarga usia 18-59 tahun.
Penghasilan
rendah atau berada dibawah garis kemiskinan seperti tercermin dari tingkat
pengeluaran perbulan, yaitu Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,-
untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan.
Tingkat
pendidikan pada umumnya rendah : tidak tamat SLTP, tidak ada ketrampilan
tambahan.
Derajat
kesehatan dan gizi rendah.
Tidak
memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK.
Pemilikan
harta sangat terbatas jumlah atau nilainya.
Hubungan
sosial terbatas,belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
Akses
informasi terbatas.
b.
Keluarga terasing
1)
Hidup
dalam kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat lokal dan terpencil.
a.
Berbentuk
komunitas kecil, tertutup dan homogen.
b.
Pranata
sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
c.
Pada
umumnya secara
geografis terpencil dan relatif sulit dijangkau atau terisolasi.
2)
Kehidupan dan
penghidupannya masih sangat sederhana
a.
Pada
umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistens (hanya untuk
kepentingan sendiri) belum untuk kepentingan pasar.
b.
Peralatan
dan tekhnologi sederhana, misalnya peralatan rumah tangga.
c.
Ketergantungan
pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi.
d.
Terbatasnya
akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
e.
Secara
sosial budaya terasing dan atau terbelakang.
2.3
Usaha Pemerintah Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Pada Keluarga Miskin
a.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap
pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai
upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan pengembangan
Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998 – 2001, Program Dampak
Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar
Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004. Program-program tersebut diatas
berbasis pada ‘provider’ kesehatan (supply oriented), dimana dana
disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit. Provider kesehatan (Puskesmas
dan Rumah Sakit) berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan
(PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya
defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas,
juga menimbulkan fungsi ganda pada PPK yang harus berperan sebagai ‘Payer’
sekaligus ‘Provider’.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan mana program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mengacu pada prinsip-prinsip asuransi social,
yaitu :
1.
Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan
derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu.
2.
Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost
effective dan rasional.
3.
Pelayanan terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
4.
Transparan dan akuntabel.
Dengan pertimbangan pengendalian biaya
pelayanan kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta
mengingat keterbatasan pendanaan, dilakukan perubahan pengelolaan program
Askeskin pada tahun 2008, dengan memisahkan fungsi pengelolaan dengan
fungsi pembayaraan dengan didukung penempatan tenaga verifikator di setiap
Rumah Sakit. Selain itu mulai di berlakukannya Tarif Paket Pelayanan Kesehatan
bagi Masyarakat Miskin di Rumah Sakit dengan nama program berubah menjadi
Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas). Peserta Jamkesmas telah dibagi
dalam bentuk Kuota disetiap Kabupaten/Kota berdasarkan data Badan Pusat
Statistik tahun 2006. kuota tersebut menimbulkan persoalan mengingat masih
banyak masyarakat miskin di Kabupaten/Kota yang tidak masuk/menjadi peserta
Jamkesmas sementara kebijakan Jamkemas adalah bagi masyarakat miskin diluar
Kuota yang ditetapkan maka menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang
miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, sejumlah 76,4
juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang
dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri
Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang telah
ditetapkan nomor, nama dan alamatnya melalui SK Bupati/Walikota tentang
penetapan peserta Jamkesmas serta gelandangan, pengemis, anak terlantar,
masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis,
penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi
peserta Jamkesmas.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang
tidak terdapat dalam kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya mengikuti model
Jamkesmas, hal tersebut dimaksudkan agar semua masyarakat miskin terlindungi
jaminan kesehatan dan dimasa yang akan datang dapat dicapai universal
coverage.
Pada tahun 2014 Pusat Jaminan dan Pembiayaan
Kesehatan diharapkan sudah terjadi universal coverage untuk itu strategi
yang perlu dibangun dalam rangka universal coverage adalah :
1.
Peningkatan cakupan peserta Pemda (Pemda)
2.
Peningkatan cakupan peserta pekerja formal (formal)
3.
Peningkatan cakupan peserta pekerja informal (in-formal)
4.
Peningkatan cakupan peserta individual (individu)
b.
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
Bagi Pemerintah Daerah yang mempunyai
kemampuan keuangan, maka masyarakat miskin diluar kuota Jamkesmas
pelayanan kesehatannya di tanggung oleh Pemerintah daerah yang
penyelenggaraanya berbeda-beda. Pertanyaan yang harus terjawab adalah “
Dapatkah uang yang disediakan Pemerintah Daerah dikelola dengan menggunakan
prinsip-prinsip asuransi sosial seperti Jamkesmas dengan nama Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda)”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat disampaikan
hal-hal sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 22H
dinyatakan bahwa daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan
sosial. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah diwajibkan mengembangkan sistem
jaminan sosial yang didalamnya adalah termasuk jaminan kesehatan.
2.
Keputusan Mahkamah Konsititusi dalam Judicial Review pada Pasal 5
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 diputuskan bahwa :
1.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1) tidak
bertentangan dengan UUD 1945 selama dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah
pembentukan badan penyelenggara Jaminan Sosial Nasional tingkat Nasional yang
berada dipusat.
2.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (3) bertentangan
dengan UUD 1945 karena materi yang terkandung didalamnya telah tertampung dalam
Pasal 52 yang apabila diertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir
dan ketidakpastian hukum.
3.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak
dimohonkan dalam potitum namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan keberadaanya akan
menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.
4.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 52 yang dimohonkan tidak
cukup beralasan.
Menyatakan Undang-Undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran Peraturan
Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian urusan pemerintahan Bidang Kesehatan
dalam sub bidang pembiayaan kesehatan Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai
kewenangan melakukan :
1).
Pengelolaan/penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan
kesehatan skala provinsi.
2).
Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional ( tugas
perbantuan).
Sementara
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan melakukan :
1).
Pengelolaan/penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sesuai
dengan kondisi local.
2).
Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional ( tugas perbantuan).
Sasaran target program pembangunannya
diarahkan pada masyarakat terasing yang ada di propinsi/daerah perbatasan,
seperti Irian Jaya, Kaltim, Kalbar, Riau dengan tetap memperhatikan daerah lain
yang masih terdapat permasalahan masyarakat terasing. Jadi memang berbeda pada
masa Orde Baru, penekanan lebih diarahkan pada daerah perbatasan bukan lagi
penggolongan pada macam masyarakatnya (kelana, setengah-kelana, dan menetap)
tapi pada prioritas daerah. Pertimbangannya mungkin karena selain jumlah
masyarakat terasingnya dan sebagai kestabilan sosial politik dan wilayah
masyarakat sebab dekat dengan wilayah perbatasan.
2.4
Pemberdayaan masyarakat terasing
Pembangunan pada dasarnya adalah kemauan dan
kesanggupan melakukan perubahan yang direncanakan terhadap masalah-masalah atau
masyarakat yang dijadikan sasaran perubahan itu sendiri, baik dalam kaitannya
dengan hal-hak yang bersifat fisik maupun nonfisik, seperti social dan
kebudayaan. Sifat dan hasil yang dikehandaki pada setiap perubahan yang
direncanakan itu adalah menuju pada perbaikan-perbaikan. Pembangunan
masyarakat terpencil hanya dimungkinkan dapat berhasil kalau agen-agen yang
melakukan perubahan itu telah memahami lingkungan fisik, lingkungan sosial dan
kebudayaan masyarakat serta dengan karakter masyarakat.
Program pembangunannya masih
menggunakan azas pembinaan, namun mereka sudah menyisipkan konsep-konsep
pemberdayaan dan partisipasi. Seperti nampak dalam tujuan pembinaan mereka,
yaitu Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKMT) bertujuan
memberdayakan masayarakat terasing dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
agar mereka dapat berperan aktif dalam pembangunan untuk memperkuat integrasi
nasional dengan menggunakan pendekatan partisipatif dan memperhatikan potensi
sosial budaya dan lingkungannya. Jadi memang terlihat kesan bahwa masyarakat
terasing ini oleh pemerintah dianggap sebagai masyarakat yang punya
potensi demi integrasi bangsa tapi kurang berdaya sehingga perlu dibina
oleh pemerintah untuk dapat berperan aktif. Pemukiman tetap mendapatkan porsi
perhatian yang besar dalam mengukur tingkat keberhasilan program. Seperti yang
tertulis di hasil pembinaan dalam Data dan Informasi Pembinaan Masayarakat
Terasing 1999/2000, yang menyebutkan bahwa secara kualitas masayarakat terasing
tersebut telah menetap dan menjadi warga binaan dalam pemukiman sosial yang
teratur dan telah memanfaatkan sarana-sarana sosial yang ada. Berbedanya adalah
sekarang ada konsep pembinaannya yang mengarah pada pengembangan kemandirian
masayarakat terasing dalam memenuhi kebutuhan hidup pada berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya. Dengan
demikian maka arah pola pembinaan pemukimannya juga berubah tidak sepenuhnya
top down lagi tapi mulai berusaha untuk mengakomodasi keinginanan warga sebagai
perwujudan konsep pemberdayaan dan kemandirian itu. Dan itu nampak dalam
strategi pembinaannya dengan pembagian Tipe Pemukiman Sosial di Tempat Asal
(TPA) dan Tipe Pemukiman Sosial di Tempat Baru (TPB. Dengan pola-pola pembinaan
ini, sepertinya pemerintah ingin untuk tidak memaksakan masyarakat adat
tersebut untuk pindah (resettlement) ke lokasi pemukiman lain. Mereka bisa
memilih jenis pemukimannya. Namun ini nampaknya masyarakat tearsing
disuruh untuk memilih pilihan-pilihan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Jadi mereka juga tidak sepenuhnya mandiri dalam menentukan pilihannya sendiri,
tetap dalam koridor kebijakan pemerintah yaitu pemukiman.
Dalam kebijakan PKSMT tersebut juga mulai
memperlihatkan bentuk pembinaan masyarakat terasing yang diusahakan beragam dan
melibatkan pihak-pihak lain, tidak seperti masa sebelumnya yang sifatnya lebih
tunggal yaitu resettlement. Disebutkan ada 4 bentuk pembinaannya yaitu
pemukiman ditempat asal (in-situ development), Stimulus Pengembangan Masyarakat
(SPM), pemukiman ditempat baru (Ex situ development), kesepakatan dan rujukan.
Untuk program Stimulus Pengembangan
Masyarakat (SPM), sebenarnya adalah program pembinaan yang hampir sama dengan
program pembinaan PKSMT yang menitikberatkan pada bentuk pemukiman yang terpadu
(tentunya bersama prasarana dan infrastrukturnya) tapi SPM ini lebih
cenderung untuk hanya memberikan komponen-komponen tertentu saja yang berkaitan
dengan sarana sosial dan umum saja. Seperti misalnya pembibitan-hanya diberi
benih dan pelatihan, tidak diberi rumah pemukiman. Jadi SPM lebih menuntut
kepada tingkat swadaya masyarakat terasing yang tinggi. Diklaim oleh pihak
Depsos bahwa pendekatan ini sudah dilakukan di 8 lokasi pemukiman masyarakat
terasing. Namun yang menarik dari program ini, dari artikel yang ditulis oleh
Depsos sendiri ternyata pelaksanaannya juga di lokasi pemukiman masyarakat
terasing yang sudah dilakukan program pembinaan terlebih dahulu. Jadi seperti
program susulan/sampingan dari program-program yang sudah ada sebelumnya.